Konnichiwa minna-san..!!
Postingan kali ini merupakan novel singkat pertamaku, judulnya "Cahaya Dalam Gelap" seperti pada gambar cover dibawah ini. Hm, kalo dibilang novel tapi ceritanya agak pendek, kalo dibilang cerpen tapi niat bikinnya novel (maklum karena tugas sekolah). Yah, jadi aku sebut novel singkat deh. hehehe.
Postingan kali ini merupakan novel singkat pertamaku, judulnya "Cahaya Dalam Gelap" seperti pada gambar cover dibawah ini. Hm, kalo dibilang novel tapi ceritanya agak pendek, kalo dibilang cerpen tapi niat bikinnya novel (maklum karena tugas sekolah). Yah, jadi aku sebut novel singkat deh. hehehe.
Yosh, selamat membaca kawan.. (^o^)/
Agam Ginanjar..
Kurang dari satu jam lagi pesawat yang kunaiki akan mendarat,
kurang dari satu jam lagi kakiku ini akan berpijak di tanah yang subur, kurang
dari satu jam lagi hidungku ini akan menghirup segarnya udara di negeri
tercinta, Indonesia. Lima tahun merantau di negeri orang membuat rasa rinduku
akan kampung halaman menggebu–gebu.
Kupalingkan wajahku ke jendela pesawat, menatap indahnya
barisan –
barisan daratan hijau yang dikelilingi
samudera yang luas. Dan pikiranku pun melayang jauh, kembali ke masa – masa
sebelum aku bisa seperti ini. Mengingat masa – masa
yang sulit dimana aku harus berjuang dan terus bekerja keras demi meraih
impianku.
Jika dulu tidak ada orang yang selalu mengejekku, mungkin
aku tidak bisa meraih impianku ini,
mungkin aku hanya akan bermalas
– malasan menikmati
mimpi–mimpi manis tanpa berusaha mewujudkannya.
Aku ingat kata – kata
mereka, aku ingat cacian mereka saat itu.
(“Memangnya kamu bisa
?”
“Kamu kan takut
disuntik ?”
“Kamu itu pantesnya
jadi preman, kamu kan suka berantem.”
“Iya, kamu kan suka
berantem.”)
Kini aku bisa membuktikan pada mereka bahwa aku mampu
menggapai impianku. Aku mampu menjadi seorang dokter.
“Para penumpang yang terhormat, pesawat kami akan tiba di
bandara Soekarno Hatta dalam waktu lima menit lagi. Mohon segera mempersiapkan
diri.” Ucap seorang pramugari muda yang menawan, memberitahukan para penumpang
bahwa sebentar lagi tanah Indonesia akan segera mereka pijaki.
Pengumuman kecil itu membubarkan lamunanku, membawaku
kembali ke masa kini, masa dimana aku pulang dengan membawa sebuah kebanggaan
bagiku dan keluargaku.
Pesawat mulai terbang melandai, dan tak lama kemudian
mendarat. Para penumpang termasuk aku
berbaris rapi menuju pintu keluar. Satu per satu menuruni anak tangga, layaknya
barisan semut yang keluar dari sarangnya.
Aku berjalan menyusuri lorong pesawat, berada dalam
barisan rapi para penumpang, dan saat aku tiba di ambang pintu, cahaya yang
bersinar menyilaukan mataku, membuatku menghalangi pancaran sinarnya dengan
sebelah tanganku. Langit tampak sangat cerah hari ini, secerah suasana hatiku.
Dua orang melambai-lambaikan tangan ke arahku, seorang
wanita yang perawakannya tinggi langsing dan berparas cantik, mengenakan
pakaian muslim yang indah dan dihiasi pernak – pernik
kecil, menambah kesan anggun dalam
penampilannya.
Seorang yang lain, pria dengan perawakan yang lebih tinggi, mengenakan kemeja
dengan perpaduan warna yang serasi
dengan sang istri. Mereka berdua adalah pasangan yang paling serasi sejauh
mataku memandang.
Mereka berdua adalah orangtuaku,
orangtua angkatku. Merekalah yang merawat dan mendidikku sejak aku berusia 10
tahun. Mereka mengadopsiku dari panti asuhan dimana aku tumbuh besar. Mereka
menyayangiku, menyekolahkanku hingga aku sebesar ini.
Aku menyayangi mereka, sangat sangat menyayangi mereka.
Mereka orangtua yang baik hati, lembut, penuh kasih sayang, dan aku bersyukur
dapat merasakan kehangatan sebuah keluarga yang selama ini aku impikan.
Ternyata Allah SWT., adalah yang Maha Adil, mempertemukan
sebuah keluarga kecil yang mendambakan sosok seorang anak dan seorang anak yang
ingin merasakan hangatnya sentuhan kasih sayang dari orangtua. Rasa syukur ini
tidak dapat terlukiskan, sungguh beruntungnya aku mendapatkan keluarga kecil
ini.
“Assalamu’alaikum Ibu, Ayah..” Ku raih tangan dan ku cium
tangan Ayah dan Ibuku, menyambut pertemuan ini dengan salam.
“Waalaikumsalam nak.” Jawab kedua orangtuaku sambil
membelai rambutku dengan penuh kasih sayang.
“Bagaimana kabarmu nak ? Selamat atas kelulusanmu. Maaf
kami tidak mendampingimu saat itu.” Ucap Ibuku lembut, dengan nada merendah.
“Tak apalah Ibu, berkat do’a Ibu dan Ayah, Agam bisa
pulang tanpa tangan hampa. Terima kasih Ibu, Ayah.” Jawabku kembali meraih dan
mencium tangan kedua orangtuaku.
“Ayah bangga padamu, nak.” Ucap Ayahku dengan senyum
termanisnya. Wajahnya yang sedikit garang namun tetap gagah tertutupi oleh
senyumannya.
Pertemuan pertama setelah selama lima tahun tak jumpa,
pertemuan yang masih dikelilingi oleh
rasa rindu.
Hasratku untuk menceritakan pengalamanku selama di negeri
orang sudah tak terbendung lagi. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, ku
ceritakan semua yang kualami, ku ceritakan semua pengalaman pahit dan manis
selama aku tinggal disana.
* * *
Hari ketigaku tiba di Indonesia, aku sempatkan
diri untuk berkeliling Jakarta. Ternyata Jakarta tidak banyak berubah, masih seperti lima tahun yang lalu. Disatu sisi gedung – gedung semakin menjulang tinggi dan disisi lain gubuk – gubuk tua berbaris tak beraturan.
Sungai
– sungai juga semakin dipenuhi oleh sampah – sampah, semakin tidak indah dipandang,
semakin banyaknya penyakit – penyakit yang timbul karenanya.
Aku
ingin negeriku ini bisa berubah, aku ingin negeriku ini bersih dari sampah –
sampah, aku ingin menolong mereka yang membutuhkan bantuanku.
Ku
ingat kembali saat aku tinggal di negeri sana, rumah – rumah berjajar rapi dengan
jalanan yang bersih dan dipagari oleh pepohonan yang rindang. Hijaunya dedaunan
baru serta bunga – bunga yang bermekaran menambah keindahan musim semi.
Matahari
bersinar begitu terang, saat terbaik untuk sekedar berjemur di pantai atau sekedar
menghabiskan liburan bersama keluarga dan kerabat dekat bila musim panas tiba.
Indahnya
menyaksikan daun – daun berguguran, menyaksikan turunnya butiran – butiran putih
yang tak pernah kulihat di negeriku. Kilauan cahaya dari hamparan salju yang
tersinari matahari menambah keindahan musim salju.
* * *
Pertemuan..
“Ibu, Ayah, Agam harus
pergi sekarang, Agam harus segera mengamalkan ilmu yang sudah Agam peroleh.”
“Ayah dan Ibu harap kau
bias mempraktikkannya dengan ikhlas dan sabar, nak. Do’a kami selalu menyertaimu.”
“Terima kasih Ibu,
Ayah atas do’a dan ridhomu. Insyaallah Agam akan sering – sering berkunjung.
Assalamu’alaikum..”
“Waalaikumsalam.. Hati
– hati di jalanya Gam.” Ucap Ibuku sebelum aku meninggalkan mereka untuk kedua kalinya.
Mobil yang ku kemudikan
mulai meninggalkan kota Jakarta, tempat Ayah dan Ibuku tinggal. Perjalananku
kali ini adalah perjalanan pertamaku menuju kampong halamanku, Kota Kembang,
Bandung. Tempat dimana aku dilahirkan, tempat dimana aku dibesarkan bersama teman
– temanku, tempat yang penuh kenangan.
Masih ku ingat jelas saat
– saat kami tumbuh bersama di panti, dengan Bunda yang selalu menyayangi kami
meski seringkali kami membuatnya kesal.
Halaman panti selalu menjadi
tempat favorit kami untuk bermain, pohon – pohon besar yang kokoh selalu menjadi
tempat kami saling bertukar mimpi dan cita – cita.
Dalam hati ku selalu
bertanya – tanya : “Bagaimana kabar Bunda
dan anak – anak panti ? Bagaimana keadaan mereka ? Seperti apakah panti sekarang
? Pasti sudah banyak berubah. Dan bagaimana dengan Icha, seperti apakah ia sekarang
?”
Tak sabar rasanya, aku
ingin segera mengunjungi panti, aku sudah rindu dengan semua orang dipanti. Tapi
aku harus bersabar hingga tugasku ini selesai.
Ku lihat sebuah gapura
besar bertuliskan “Selamat Datang di Kota Bandung”. Alhamdulillah, akhirnya tiba
di kota kelahiranku ini. Namun ada yang berbeda, Bandung kini tak seindah dulu,
Bandung kini tak sesejuk dulu.
Bandung kini telah banyak
berubah, gedung – gedung kian menjulang tinggi, persawahan yang dulu terbentang
kini berubah menjadi kompleks – kompleks perumahan, air sungai pun sudah tak sejernih
dulu, bunga – bunga yang dulu berbaris menghiasi pinggiran kota kini sudah
sedikit, juga udara yang menjadi panas dan kemacetan di pusat kota, hampir menyerupai
kota Jakarta.
Kemanakah Bandung Kota Kembang seperti dahulu ?
Kemanakah Bandung Paris Van Java seperti dahulu ?
Kemanakah gunung – gunung yang berbaris indah ?
Kemanakah sawah – sawah yang membentang luas ?
Kemanakah kota Bandung yang dahulu ?
* * *
Panti kini banyak berubah,
rumah sudah direnovasi, halaman yang dulu sepetak kini hamper seluas lapangan volly,
dulu halaman dipenuhi rumput – rumput liar kini dipenuhi tanaman – tanaman obat.
Hanya satu yang
membuatku sedih, bagian terpenting dalam panti sudah tiada, dialah saksi bisu yang merekam masa kecilku, pohon besar yang kokoh itu kini
sudah ditebang.
Ku hampir rumah, namun ada yang aneh. Sepi, seperti tak
ada kehidupan disini, kemanakah orang – orang ?
“Assalamu’alaikum..”
“Assalamu’alaikum..” Kuucapkan salam berkali – kali.
“Waalaikumsalam..” Akhirnya ada yang menjawab salamku. Seorang gadis
kecil keluar
dari rumah. Ia mengenakan pakaian muslim berwarna biru muda,
selaras dengan
parasnya yang manis.
“Apakah Bunda ada
di rumah ?” Tanyaku
padanya.
“Maaf
kakak siapa ya
?” Tanyanya
padaku.
“Saya
Agam dari Jakarta. Bolehkah saya bertemu dengan Bunda
?”
“Oh maaf, Bundanya lagi di Rumah Sakit.” Jawabnya dengan raut wajah yang seketika berubah.
“Siapa yang sakit dik ? Bundakah ?” Tanyaku khawatir.
“The Icha,
kak.”
“Icha, Alysha ? Kenapa dengannya ? Sakit apa dik ?”
“Iya, kakak temannya teh Icha ? Kemarin teh Icha
kecelakaan kak.”
“Astaghfirullah.. Bagaimana bisa ? Sekarang keadaannya
bagaimana ?”
“Kiki juga kurang tahu
kak, dari kemarin Bunda belum pulang.”Jawabnya dengan suara yang bergetar.
“Di Rumah Sakit mana
dik ?”
“Kata Bunda di RS. Al
Masoem kak.Tapi Bunda tidak bilang di ruangan mananya.”
“Terima Kasih, dik.
Kakak akan kesana sekarang.”
“Boleh Kiki ikut ?”
Pintanya sedikit memelas.
“Lebih baik adik di
rumah saja, berdo’a semoga the Icha baik – baik saja, ya.. ”
“Hm, baiklah.Terima
kasih kakak, hati – hati di jalannya.”
“Iya.
Assalamu’alaikum..”Ucapku, segera menuju Rumah Sakit.
“Waalaikumsalam..”
Langsung aku menuju
Rumah Sakit dimana Icha dirawat.Dengan beribu pertanyaan memenuhi pikiranku
ini.
* * *
# Setibanya di Rumah Sakit #
“Maaf Bu, pasien yang bernama Alysha Hanifah dirawat di
ruangan mana ya ?” Tanyaku ketika aku tiba di lobi Rumah Sakit.
“Tunggu sebentar..”
Dengan cekatan ia telusuri data – data kamar pasien.
“Nn. Alysha Hanifah
dirawat di ruang Anggrek nomor 117.” Jawabnya beberapa saat kemudian.
“Terima kasih.”
Segera ku berlari
mencari ruangan itu, ku lihat setiap nomor yang tertera di pintu ruangan.
Anggrek 100.. Anggrek 102.. Anggrek 103.. Dan akhirnya ku temukan ruangan yang
ku cari Anggrek 117.
Ku buka daun pintu
yang sedikit terbuka,ku lihat di dalam sana terbaring seorang gadis,
disampingnya seorang wanita tua duduk dengan penuh kecemasan.
“Assalamu’alaikum..” Sapaku
dengan nada pelan.
Ia terkejut, namun
begitu sadar ia segera menjawab salamku. “Waalaikumsalam..”
Terlihat jelas ia
masih terkejut atas kedatanganku yang tiba – tiba ini. Beberapa saat raut
wajahnya berubah, keheranan. Mungkin ia tak mengenaliku.
“Bunda ini Agam, Agam
Ginanjar..”Tuturku memecah keheningan dan mencoba menjawab pertanyaan –
pertanyaan dalam benaknya.
“Oh Agam. Bagaimana
bisa Agam tahu ?” Tanyanya masih sedikit kebingungan.
“Ceritanya panjang
Bun, nanti Agam ceritakan. Tapi sebelumnya mengapa Icha bisa sampai begini Bun
?”
“Mobil bus yang
dinaiki Icha kecelakaan.”
“Bagaimana keadaannya
sekarang Bun ?”
“Alhamdulillah sudah
lebih baik. Hanya saja kedua matanya sudah tidak berfungsi lagi, kata dokter ia
mengalami kebutaan.“Jawab Bunda hampir menangis, memandangi Icha yang sedang
tertidur disana.
“Astaghfirullah.. Lalu
bagaimana bisa ia mengalami kebutaan ?”
“Pecahan – pecahan
kaca akibat kecelakaan itu masuk ke kedua matanya, dan matanya terpaksa
dioperasi.” Jawabnya kini sudah menitikan air mata.
Sakit hatiku
mengetahuinya, rasanya bagaikan tersayat – sayat pisau yang tajam. Dan aku ?
Apa yang bisa aku lakukan untuknya saat ini ?Aku hanya berdiri dalam diam, aku
hanya bisa melihatnya dalam diam.
Sungguh aku tak
menyangka orang yang ku sayangi mengalami hal seperti ini.Aku hanya bisa
menatapnya terbaring dengan penuh ketidakpercayaan. Aku hanya bisa menatapnya
dengan penuh harap bahwa dia yang terbaring disana bukanlah kau, Icha.
Oh sahabatku, aku datang untuk menunjukkan padamu
hasil dari usahaku selama ini. Aku datang untuk memperlihatkan kemampuanku ini.
Aku datang untuk melihatmu melihat
perubahanku ini.
Oh sahabatku, ku harap bukan engkau yang mengalami
semua ini. Ku harap engkau masih bisa melihat seperti saat terakhir kita
bertemu, dengan mata yang indah penuh dengan keceriaan. Ku harap bukan engkau
yang kini terbaring disana, dengan mata terbungkus perban.
“Agam, bagaimana
kabarmu nak ? Kau sudah tumbuh besar, Agam kecil Bunda sekarang sudah dewasa.” Tutur
Bunda kini membubarkan lamunanku tentangnya, membawaku kembali pada kenyataan.
“Alhamdulillah Bunda,
bagaimana kabar Bunda dan kabar anak – anak yang lain di panti ?” Jawabku
beberapa saat kemudian.
“Alhamdulillah baik. Apa
kegiatanmu sekarang ? Bunda kira Agam sudah lupa dengan panti.” Kini ia sambil
tertawa kecil, mencoba menghangatkan suasana.
“Agam baru saja dapat
izin praktek Bun, Alhamdulillah Agam berhasil menjadi seorang dokter.Tentunya
tidak Bun, Agam sangat merindukan suasana di panti, Agam rindu Bunda.”
“Bunda pun begitu,
Gam.”Jawabnya lalu memandangi Icha lagi.
* * *
Alysha Hanifah..
Hm, ku rasa aku sudah tidur terlalu lama. Tapi, mengapa semuanya begitugelap ? Mengapa tidak ada setitik cahaya pun disini ? Apakah aku ini sedang bermimpi ?
Kucubit lenganku, ternyata sakit. Aku tidak sedang
bermimpi, ini kenyataan, tapi mengapa aku tak bisa melihat apa – apa ? Gelap
sekali disini, aku mulai merasa semakin takut.
“Bunda..!!” Teriakku
spontan karena lampunya tak kunjung menyala.
“Bunda..!!” Kemanakah
Bunda ?Aku semakin takut berada dalam kegelapan ini.
“Iya tunggu sebentar.”
Jawabnya sambil berlari menghampiri Icha.
“Bunda, Bunda dimana ?
Bisakah Bunda menyalakan lampunya untukku ?”Pintaku namun sudah merasa tenang
karena ada Bunda disini.
“Kenapasayang ?” Jawabnya
lembut.
“Kenapa disini gelap
sekali ? Icha tak bisa melihat apa – apa, termasuk Bunda.”
“Tenang sayang, Bunda
ada disini, disampingmu.” Ia memelukku, memelukku dengan erat, tak seperti
biasanya.
“Ada apa ini Bunda ?
Sebenarnya kita ini dimana ? Mengapa disini gelap sekali Bunda ?” Tanyaku
semakin cemas.
“Icha, Icha tenang
dulu.” Ucap seorang laki – laki.
“Bunda, siapakah
seseorang disana ?”
“Ini aku Agam, Cha.” Jawabnya
melembut.
“Agam ? Kaukah Agam
Ginanjar ?”
“Iya Cha, Agam kembali
untukmu.”
“Ada apa sebenarnya
ini ? Aku tak mengerti, mengapa kalian bersikap aneh padaku ? Dan mengapa aku
tak bisa melihat apa – apa ?” Tanyaku semakin takut.
Ada apa ini ? Mengapa tiba – tiba ada Agam disini ?
Mengapa tiba – tiba sikap Bunda berubah ? Mengapa jawaban mereka tidak sesuai
dengan pertanyaan – pertanyaanku ? Ya Allah, ada apa ini sebenarnya ?
Aku bisa mendengar mereka, namun aku tak bisa melihat
mereka. Disini gelap sekali, tak ada setitik cahaya pun. Mungkinkah..
Mungkinkah aku ini buta ? Apa itu benar ya Allah ? Apa aku ini buta ?
“Apakah Icha ini buta
?” Tanyaku setelah lama hening.
Masih hening, tak ada seorang pun yang menjawab
pertanyaanku. Ya Allah, mungkinkah itu benar ? Mungkinkah aku ini benar – benar
buta ? Ya Allah aku ingin mengetahui kebenarannya, aku tak ingin diam dalam
ketidaktahuan ini.
“Bunda.. Agam.. Apa
Icha benar – benar buta ?” Tanyaku pelan, rasanya lidah ini begitu sulit untuk
menanyakannya.
Tetap hening, mengapa mereka tetap diam ? Mengapa
mereka tak menjawab pertanyaanku ini ?
“Icha, tapi Icha harus
tetap tanang.Icha harus kuat dan sabar ya.” Bunda akhirnya membuka mulut.
Ya Allah, benarkah ini ?
“Icha, akibat
kecelakaan kemarin mata Icha harus dioperasi, Bunda tidak punya pilihan lain.
Maafkan Bunda, Cha.” Jawab Bunda, dari suaranya ia menangis.
Ya Allah, tidakkah aku sedang bermimpi ? Bangunkan aku
dari mimpi ini ya Allah. Aku masih ingin melihat ciptaan – ciptaan-Mu, aku
masih ingin menikmati keindahan ciptan – ciptaan-Mu, dan aku masih ingin
melihat.Ya Allah, ku harap ini bukanlah kenyataan.
Aku hanya bisa terdiam
mendengar jawaban itu, meski aku sudah mengira namun mendengar pernyataan itu
membuatku membeku dan tak dapat berkata apa – apa lagi. Sungguh aku terkejut.
Hanya isak tangis
Bunda yang terdengar, rasanya baru kali ini Bunda menangis seperti itu.Sakit
sekali hatiku mendengar isak tangisnya, menyayat – nyayat hati yang sedang
terluka.
Kini ia melepaskan
pelukannya, ia berlalu meninggalkan aku, tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, ia meninggalkanku dalam bisu.
Rasanya dada ini
sangat sesak, semakin sesak hingga sulit bagiku untuk bernafas.Hal yang tak
pernah terbayangkan olehku, ternyata kini aku alami. Inikah ujian dari-Mu ya
Allah ? Inikah cobaan yang Kau berikan padaku ? Tapi mengapa harus aku ?
“Icha..” Ucap Agam
memecah keheningan.
Tangannya kini menepuk
– nepuk bahuku, mencoba menenangkan
hatiku yang sedang kacau. Aku tak bisa berkata apa– apa, masih begitu sulit.
“Icha, janganlah kau
takut, ada Agam disini. Agam akan selalu ada untukmu. Cha, ingat ini ujian
untukmu, ini ujian khusus dari Allah untukmu. Icha harus sabar, tetaplah
menjadi Icha yang Agam kenal.” Kata – katanya kini seakan menegurku.
Kata – katamu benar Gam, tapi aku belum siap menerima
semua ini, aku tak sekuat yang kau tahu. Butuh waktu bagiku untuk menerima
kenyataan ini, semua ini terlalu cepat bagiku, Gam.
* * *
Sudah satu minggu aku diam dalam kebisuan, aku masih belum
bisa menerima kenyatan ini. Segala hal berkecamuk dalam pikiranku, kurasakan
perang batin yang tak kunjung berakhir. Ya Allah apayang harus aku lakukan ?
“Assalamu’alaikum..”
Ucapan salam itu
membawaku kembali ke alam sadar.
“Waalaikumsalam.. Siapa disana ?”
“Ini aku, Agam.”
“Oh Agam, ada apa ?”
“Aku ingin mengajakmu keluar, ayo ikut.”
“Kemana ?”
“Ke tempat yang kau kenal, ayo..” Ia menepuk pundakku,
berusaha meyakinkanku.
Ia menggenggam
tanganku dan ia menuntun langkahku, pelan dan penuh kehati – hatian. Aku bias
merasakannya karena genggaman tangannya yang erat.
Tanganku yang lain tak
henti mengayun di udara, meraba – raba apapun yang ada disekitarku, mencoba
mengenali jalan yang kulewati ini. Sangat sulit untuk berjalan dalam kegelapan
seperti ini, dan jujur sebenarnya aku takut.
“Jangan takut, aku disini bersamamu.” Ucapnya tiba – tiba.
Kata – katanya
membuatku merasa tenang. Ia seperti tahu apa yang ada dalam pikiranku.
“Terima kasih.” Jawabku terbata – bata.
Kini ia menghentikan langkahnya, “Kita sudah sampai, ayo
duduk.” Ia membantuku untuk duduk, duduk di sebuah kursi yang terbuat dari
kayu.
Bau bunga mawar yang
sedang mekar, bau dedaunan hijau yang segar, bau air kolam ikan, bau ini tidak
asing bagiku. Dimanakah aku ? Mungkinkah ini di halaman belakang panti ?
“Kita di halaman belakang ?” Tanyaku untuk memastikan.
“Iya, kau benar Cha. Kita di halaman belakang.” Jawabnya
puas.
“Mengapa kita kesini, Gam ?”
“Ingatkah kau saat kita masih kecil dulu ?” Ia tak
menjawab pertanyaanku.
“Dulu kau yang menuntunku, menunjukkan jalan pulang
padaku, karena seringkali aku lupa jalan pulang jika bermain.” Lanjutnya
beberapa saat kemudian.
“Tentu, aku ingat itu. Dulu juga kita sering bertengkar
memperbutkan makanan. Kau masih ingat ?”
“Tentu saja, aku ingat saat – saat kita bertengkar,
bermain, bersama – sama.”
Bersamanya aku kembali
ke masa lalu, mengingat kembali cerita dan kenangan yang dulu pernah terukir.
“Hm, dulu kau sering memboncengku naik sepeda ke sekolah.
Aku rindu saat itu, bagaimana denganmu ?” Tanyaku sambil membayangkan saat –
saat itu.
“Tentu saja. Oh ya, di panti ada sepeda ?”
“Ada, di halaman depan. Untuk apa sepeda ?”
“Ayo kita bersepeda.” Ajaknya penuh semangat.
“Bagaimana bisa Gam ? Aku buta.”
“Lalu ? Buta tidak berarti tidak bisa melakukan apa –
apa.” Ia menggenggam tangantu lagi dan menarik tanganku.
“Ayo !” Lanjutnya, kini ia menuntunku ke halaman depan.
Suaranya yang lembut namun tegas, menampar dengan halus ucapanku
tadi, membuatku sadar akan satu hal, aku masih mempunyai empat indera yang lain
dan aku harus bersyukur karenanya. Aku tak boleh menyia – nyiakan hidupku dalam
keputusasaan.
“Siap Cha ? Pegang erat – erat ya.”
Kata – katanya sama
persis seperti saat itu.
“Iya, tapi pelan – pelan ya Gam.”
“Ok. Siap boss !” Jawabnya dengan tawa
kecil.
Angin berhembus lembut
menyapaku, nyanyian burung – burung kecil mengiringi perjalanan kecilku,
harumnya bunga – bunga yang sedang bermekaran menyertaiku.
Aku bisa merasaannya,
aku bisa merasakan hangatnya sinar sang mentari, aku bisa merasakan sebuah
kebahagiaan, bersamanya, bersama sahabatku.
Sepanjang perjalanan singkat ini ia tak henti membuatku tertawa, ia benar – benar membuatku terhibur,
membuatku lupa akan sedihku, membuatku kembali bersemangat.
* * *
No comments:
Post a Comment