Pages

Tuesday, November 5, 2013

Cahaya Dalam Gelap Part II

Yoo sambung lagi yoo baca ceritanya..
Selamat membaca kawan.. (^o^)/


Perpisahan..
  
Sudah tiga bulan sejak kejadian itu, kecelakaan yang mengakibatkan aku kehilangan penglihatanku. Aku sudah jauh lebih baik, keadaanku, perasaanku pun sudah membaik. Aku bukanlah Icha yang kemarin, yang menangis, meratapi takdir. Aku yang sekarang adalah Icha yang selalu bersemangat seperti Icha yang dulu.
Semua berkat Bunda, anak – anak panti, dan juga berkat sahabatku Agam yang telah menyelamatkanku dari keterpurukan. Mereka tak pernah lelah memberiku semangat, membantuku untuk bangkit kembali.
Mereka tak pernah lelah membantuku untuk terus menyesuaikan diri dengan situasi dan keadaan, kapanpun dan dimanapun aku berada. Mereka tak pernah lelah menuntun langkahku ini, meraka mengajakku mengenali dunia luar dari sisi lain. Dan mereka tak pernah lelah mengajariku kembali akan banyak hal.
Berkat mereka aku menjadi lebih kuat, berkat mereka aku mampu menjalani hidupku yang berbeda, berkat mereka aku bisa melihat dunia dari sisi yang lain, dan berkat mereka aku bisa lebih menghargai hidupku ini.
“Icha.. Icha..” Teriak Bunda pagi – pagi sekali.
“Iya Bunda, ada apa ? Icha sudah bangun Bunda.”
“Icha, ayo kita pergi ke Rumah Sakit.” Ajaknya tiba – tiba dan dengan suara yang bergetar.
“Ada apa Bunda ? Siapa yang sakit ?”
“Agam, Cha.. Agam kecelakaan.”
“Astaghfirullah..!”
Tanganku bergetar mendengarnya, badanku terasa lemas, aku tak percaya dengan apa yang ku dengar. “Agam kecelakaan ?” innalillahi.. Ku harap dia baik – baik saja.
Ya Allah, selamatkanlah dia untukku, cukuplah aku yang mengalami kecelakaan, cukuplah aku yang merasakan sakit. Ya Allah, lindungilah dia untukku.
Mendengarnya aku dan Bunda segera pergi ke Rumah Sakit, dengan perasaan khawatir dan cemas yang menyelimuti kami, berharap dia baik – baik saja.



# Setibanya di Rumah Sakit #
“Maaf Bu, pasien yang tadi kecelakaan dirawat dimana ?” Tanya Bunda
“Pasien yang baru saja masuk di ruangan UGD, bu”
“Terima kasih”
Kami berjalan agak cepat, mencari – cari ruangan UGD. Dan ketika kami sampai di pintu ruangan itu, langkah kami terhenti. Selain dokter ataupun perawat dilarang masuk. Kami hanya bisa menunggu diluar, semakin cemas dengan keadaannya.
Selang beberapa jam kami tiba disini, keluarga Agam dari Jakarta pun datang. Bunda yang mengabari mereka. Mereka menanyakan keadaan Agam, tapi belum ada yang memberitahu kami keadaannya saat ini.
Setelah lama kami semua menunggu, akhirnya seorang dokter keluar dari ruangan UGD.
“Keluarga dari pasien yang bernama Agam ?” Tanyanya pada kami.
“Iya benar, saya ibunya. Bagaimana keadaannya dok ?” Jawab seorang wanita tapi bukan Bunda, dia ibunya.
“Mohon maaf, kami sudah berusaha semampu kami, tapi Tuhan berkehendak lain, bu. Maaf, kami tidak berhasil menyelamatkan nyawanya.” Jawab dokter itu, dengan nada berduka.
“Apa ?? Innalillahiwainnailaihiroji’un..” Seketika ia langsung menangis, dan ia jatuh pingsan.
Ya Allah apa yang terjadi ? Apakah aku salah mendengar ? Bagaimana bisa ini terjadi ? Bagaimana bisa ia pergi secepat itu ?
Rasanya hati ini tersayat – sayat, lebih sakit daripada saat kehilangan penglihatanku ini. Cukuplah aku kehilangan mataku ini.
“Bagaimana bisa dok ?” Tanya seorang pria, dia ayahnya.
“Dia mengalami pendarahan yang hebat akibat benturan yang keras dan sebagian tubuhnya pun remuk.”
“Astaghfirullah..”
“Tapi, beberapa saat sebelum ia meninggal ia sempat mengatakan sesuatu. “Dokter, jikalau nanti aku tiada tolong donorkan  mataku ini pada sahabatku. Aku ingin memberinya setitik cahaya.” itulah kata – kata terakhirnya.
Kami semua terkejut. Sedang aku, aku lebih terkejut daripada mereka. Aku tak menyangka kata – kata terakhirnya itu adalah untukku, aku tak mengira ia akan berkata seperti itu.
 Namun hanya mata kirinya yang bisa didonorkan. Karena matanya yang masih utuh hanyalah yang sebelah kiri.” Lanjut dokter itu.
Aku terkejut mendengar kata – kata terakhirnya itu, aku tak percaya kata – kata itu akan terucap darinya, terlebih disaat – saat terakhirnya.
“Bolehkah kami melihatnya ?”
“Maaf, tapi pihak keluarga hanya bisa melihatnya dari luar.”
“Tidak apa – apa, kami ingin melihatnya untuk yang terakhir kali.”
Isak tangis sudah tidak bisa dihentikan lagi, butiran – butiran air mata terus berjatuhan, mengalir layaknyan air hujan yang turun.
Sedih, selama ini aku belum pernah melihat wajahnya, seperti apa dia sekarang dan kini aku takkan pernah bisa bertemu lagi dengannya. Mengapa kau pergi seperti ini sahabat ?
Kini suasana menjadi hening, semua orang disini diam membisu, masih terpukul dengan kepergian sosok seorang Agam.
Saya menyetujui pendonoran mata kiri Agam.Ayah Agam kini angkat bicara, memecah keheningan.
Tapi Ayah..Ibu Agam menanggapi keputusan sang Ayah.
Ibu, hanya ini hal terakhir yang bisa kita lakukan untuk Agam. Ini wasiat terakhir Agam, Bu.
Baiklah, Ibu setuju.
Terima kasih, Bu. Ayah akan menghubungi Dokter.
Dengan begitu, Ibu masih bisa melihat Agam melalui matamu, Cha.Tutur Ibu Agam.
Terima kasih Ibu, Ayah.
Pihak keluarga Agam sudah mengikhlaskan dan menyetujui pendonoran matanya padaku. Dan operasi pendonoran itu akan dilakukan esok hari.
Agam, terima kasih karena telah membantuku untuk bangkit, terima kasih karena kau selalu menemaniku, mengajariku, menyayangiku dengan tulus. Kaulah sosok seorang pahlawan dimataku.

* * *

Operasi itu akan dilakukan hari ini, kali kedua aku memasuki ruangan operasi, hanya saja saat itu aku sedang dalam keadaan tak sadarkan diri.
Baju khusus untuk operasi sudah aku kenakan, aku pun sudah berbaring di atas blankar. Kini blankar itu mulai berjalan, perlahan, menuju ke sebuah ruangan.
Icha baik – baik saja ?Itu suara Bunda, dari nada bicaranya ia mengkhawatirkan keadaanku.
Icha baik – baik saja, Bun. Do’akan Icha agar operasinya lancar.Jawabku sesaat sebelum memasuki ruangan operasi.
Tentu, Cha. Do’a Bunda selalu menyertaimu.
Kini blankar itu mulai berjalan, perlahan, menuju ke sebuah ruangan. Dingin, dingin sekali. Ruangan itu dingin sekali, hingga menusuk pori – pori kulitku, aroma obat – obatan menusuk penciumanku.Aku mulai merasa gugup dan takut.
Tiba – tiba benda tajam dan dingin menyentuh lengan kiriku, menusuk dan menembus permukaan kulitku yang tipis. Rasanya seperti digigit oleh seekor semut, namun seperti ada yang mengalir dalam darahku. Aku tahu, mungkin itulah yang dinamakan suntikan bius, karena setelahnya aku pun tak sadarkan diri.
Aku merasa seperti sedang berada di suatu tempa yang asing, tapi disini indah sekali. Disini, aku bisa melihat dunia, aku bisa melihat dedaunan yang hijau, bunga – bunga yang berwarna – warni, burung – burung yang cantik.. aku ingin terus berada disini, melihat indahnya dunia ini.
Aroma ini.. aroma yang tidak asing bagiku, seperti aroma parfum Agam. Adakah kau disini Agam ?
“Assalamu’alaikum..” Salam seorang laki – laki memakai pakaian serba putih dari arah belakangku.
“Waalaikumsalam..” Jawabku terkejut.
“Agam ? Kaukah itu ?” Lanjutku.
“Iya, ini aku Agam.”
Subhanallah.. aku tak menyangka bisa bertemu dengannya disini, dan aku bisa melihatnya, aku melihat wajahnya.
“Agam, benarkah ini dirimu ? Ternyata kau banyak berubah. Aku tak menyangka aku bisa bertemu denganmu lagi, dan aku lebih tak menyangka kini aku bisa melihatmu, Gam. Sungguh bahagianya aku.“
“Icha, maafkan aku yang tak bisa menepati janji, yang tak bisa selalu menemanimu.”
“Tidak Agam, selama ini kau selalu membantuku, menemanku, melindungiku, aku yang seharusnya minta maaf. Akuselalu merepotkanmu, selalu menyusahkanmu. Agam, terima kasih untuk semuanya..”
“Ku harap setitik cahaya ini bisa menyinari hidupmu.”
Namun semua itu menghilang, dedaunan, bunga – bunga, burung – burung, dan Agam, semuanya menghilang. Tinggalah aku sendiri disana.
Agam kau dimana ? Mengapa kau pergi lagi ? Mengapa kau meninggalkanku sendiri disini ? Agam..!! Agam..!!
Dan aku tersadar, terbangun dari mimpi indah itu, mimpi yang terlihat nyata.
“Dimanakah aku sekarang ?”
“Icha sudah sadar ? Icha di Rumah Sakit.” Jawab seorang wanita, ku kira itu Bunda.
“Bundakah itu ?”
“Iya, ini Bunda. Bagaimana  Cha ?
“Icha baik – baik saja Bunda, Icha merasa lebih baik sekarang.”
“Alhamdulillah..”
Sudah tiga hari aku menginap di Rumah Sakit, dan kini perban yang membungkus mata kiriku sudah bisa dilepas. Ketika perban itu mulai dilepas, ku coba membuka mata kiriku perlahan, dan cahaya – cahaya itu menyilaukan mataku. Aku bisa melihat lagi..!!
Terima kasih ya Allah.. terima kasih sahabatku, kau telah memberikan sumber cahaya bagi hidupku.
Dengan mata kiriku ini aku bisa melihat lagi dunia yang penuh warna, dengan mata ini aku bisa merekam setiap hal indah.
Sekarang aku sudah diizinkan untuk pulang, namun tempat pertama yang ingin ku tuju adalah pemakaman. Aku ingin berziarah ke makam sahabatku,  aku ingin mengucapkan terima kasih padanya.
Disana, di dalam sana terbaring seorang yang berjasa bagi hidupku, sosok pahlawan sejak aku kecil hingga sekarang, bahkan sampai  nanti dia tetaplah pahlawan bagiku. Terima kasih sahabatku atas segalanya, terima kasih karena telah memberiku setitik cahaya ini, terima kasih karena kau terlahir untuk menjadi sahabatku

# 10 Oktober 2010 #
Hari ini adalah hari ulang tahunmu, sahabat. Ulang tahun yang ke 24 tahun.
Happy 24th Agam.. Berbahagialah disana sahabat.. Do’aku selalu menyertaimu..


 * * * 

Puisi Untukmu..

  

Dalam gelap ku masih bisa melihat..
Dalam gelap ku masih bisa mendengar..
Dalam gelap ku masih bisa merasa..

Aku masih bisa melihat wajahmu..
Aku masih bisa melihat mereka..
Aku masih bisa melihat bunga – bunga disana yang bermekaran..
Aku masih bisa melihat dunia..

Meski gelap, aku masih bisa mendengar suaramu..
Aku masih bisa mendengar canda tawa mereka..
Aku masih bisa mendengar suara kicauan burung – burung disana..

Meski gelap, aku masih bisa merasakan sentuhan tanganmu..
Aku masih bisa merasakan hangatnya kasih sayang mereka..
Aku masih bisa merasakan kebersamaan ini..

Karenamu, aku bisa melihat dalam kegelapan..
Karenamu, aku selalu mendengar hal – hal yang indah..
Karenamu, aku tak pernah merasa takut berada dalam kegelapan ini..

Terima kasih karena kau menerangi hidupku..
Terima kasih karena kau menjadi pahlawan dalam hidupku..
Terima kasih karena kau terlahir menjadi sahabatku..
Terima kasih sahabatku, Agam Ginanjar..
                                 

 * * *

Biografi Penulis..

  
Penulis yang bernama lengkap Yulia Lestari adalah seorang lulusan SMK Informatika Sumedang. Penulis duduk di kelas XI – 1 jurusan Rekayasa Perangkat Lunak yang terkenal dengan “Aseekk Class” saat membuat karya sastra novel singkat “Cahaya Dalam Gelap” ini untuk memenuhi salah satu tugas Bahasa Indonesia.
Penulis lahir di Sumedang pada 26 Juli 1995 dan merupakan anak tunggal di keluarga kecilnya. Penulis memiliki hobi membac mendengarkan musik, menonton anime, dan mengoperasikan komputer.


 * * *
  

Yui's thanks to..

  
Terima kasih kepada Allah SWT., karena atas izin-Nya novel singkat ini dapat selesai..
Terima kasih kepada orangtuaku, yang selalu mendukung kegiatan – kegiatanku, menyemangtiku ketika tugas – tugas melanda..
Terima kasih kepada guruku, yang tak pernah lelah mengajari dan membimbingku di sekolah..
Terima kasih kepada sahabat – sahabatku, yang selalu berbagisuka dan duka, yang selalu memberiku banyak saran dan masukan..
Terima kasih banyak..


 * * *





Yosh.. terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca karanganku ini, semoga kawan" tidak menyesal karna telah membacanya. hehe.
Jangan lupa kritik dan sarannya ya kawan..
See you again !! (^o^)/

No comments:

Post a Comment

 

Blogger news

Blogroll

About