Pages

Tuesday, November 5, 2013

Cahaya Dalam Gelap Part I

Konnichiwa minna-san..!!
Postingan kali ini merupakan novel singkat pertamaku, judulnya "Cahaya Dalam Gelap" seperti pada gambar cover dibawah ini. Hm, kalo dibilang novel tapi ceritanya agak pendek, kalo dibilang cerpen tapi niat bikinnya novel (maklum karena tugas sekolah). Yah, jadi aku sebut novel singkat deh. hehehe.

Yosh, selamat membaca kawan.. (^o^)/




Agam Ginanjar..

Kurang dari satu jam lagi pesawat yang kunaiki akan mendarat, kurang dari satu jam lagi kakiku ini akan berpijak di tanah yang subur, kurang dari satu jam lagi hidungku ini akan menghirup segarnya udara di negeri tercinta, Indonesia. Lima tahun merantau di negeri orang membuat rasa rinduku akan kampung halaman menggebu–gebu.
Kupalingkan wajahku ke jendela pesawat, menatap indahnya barisan barisan daratan hijau yang dikelilingi samudera yang luas. Dan pikiranku pun melayang jauh, kembali ke masa masa sebelum aku bisa seperti ini. Mengingat masa masa yang sulit dimana aku harus berjuang dan terus bekerja keras demi meraih impianku.
Jika dulu tidak ada orang yang selalu mengejekku, mungkin aku tidak bisa meraih  impianku ini, mungkin aku hanya akan bermalas malasan menikmati mimpi–mimpi manis tanpa berusaha mewujudkannya.
 Aku ingat kata kata mereka, aku ingat cacian mereka saat itu.
(“Memangnya kamu bisa ?”
“Kamu kan takut disuntik ?”
“Kamu itu pantesnya jadi preman, kamu kan suka berantem.”
“Iya, kamu kan suka berantem.”)
Kini aku bisa membuktikan pada mereka bahwa aku mampu menggapai impianku. Aku mampu menjadi seorang dokter.
“Para penumpang yang terhormat, pesawat kami akan tiba di bandara Soekarno Hatta dalam waktu lima menit lagi. Mohon segera mempersiapkan diri.” Ucap seorang pramugari muda yang menawan, memberitahukan para penumpang bahwa sebentar lagi tanah Indonesia akan segera mereka pijaki.
Pengumuman kecil itu membubarkan lamunanku, membawaku kembali ke masa kini, masa dimana aku pulang dengan membawa sebuah kebanggaan bagiku dan keluargaku.
Pesawat mulai terbang melandai, dan tak lama kemudian mendarat. Para penumpang termasuk aku berbaris rapi menuju pintu keluar. Satu per satu menuruni anak tangga, layaknya barisan semut yang keluar dari sarangnya.
Aku berjalan menyusuri lorong pesawat, berada dalam barisan rapi para penumpang, dan saat aku tiba di ambang pintu, cahaya yang bersinar menyilaukan mataku, membuatku menghalangi pancaran sinarnya dengan sebelah tanganku. Langit tampak sangat cerah hari ini, secerah suasana hatiku.
Dua orang melambai-lambaikan tangan ke arahku, seorang wanita yang perawakannya tinggi langsing dan berparas cantik, mengenakan pakaian muslim yang indah dan dihiasi pernak pernik kecil, menambah kesan anggun dalam  penampilannya.
Seorang yang lain, pria dengan perawakan yang  lebih tinggi, mengenakan kemeja dengan perpaduan  warna yang serasi dengan sang istri. Mereka berdua adalah pasangan yang paling serasi sejauh mataku memandang.
Mereka berdua adalah orangtuaku, orangtua angkatku. Merekalah yang merawat dan mendidikku sejak aku berusia 10 tahun. Mereka mengadopsiku dari panti asuhan dimana aku tumbuh besar. Mereka menyayangiku, menyekolahkanku hingga aku sebesar ini.
Aku menyayangi mereka, sangat sangat menyayangi mereka. Mereka orangtua yang baik hati, lembut, penuh kasih sayang, dan aku bersyukur dapat merasakan kehangatan sebuah keluarga yang selama ini aku impikan.
Ternyata Allah SWT., adalah yang Maha Adil, mempertemukan sebuah keluarga kecil yang mendambakan sosok seorang anak dan seorang anak yang ingin merasakan hangatnya sentuhan kasih sayang dari orangtua. Rasa syukur ini tidak dapat terlukiskan, sungguh beruntungnya aku mendapatkan keluarga kecil ini.
“Assalamu’alaikum Ibu, Ayah..” Ku raih tangan dan ku cium tangan Ayah dan Ibuku, menyambut pertemuan ini dengan salam.
“Waalaikumsalam nak.” Jawab kedua orangtuaku sambil membelai rambutku dengan penuh kasih sayang.
“Bagaimana kabarmu nak ? Selamat atas kelulusanmu. Maaf kami tidak mendampingimu saat itu.” Ucap Ibuku lembut, dengan nada merendah.
“Tak apalah Ibu, berkat do’a Ibu dan Ayah, Agam bisa pulang tanpa tangan hampa. Terima kasih Ibu, Ayah.” Jawabku kembali meraih dan mencium tangan kedua orangtuaku.
“Ayah bangga padamu, nak.” Ucap Ayahku dengan senyum termanisnya. Wajahnya yang sedikit garang namun tetap gagah tertutupi oleh senyumannya.
Pertemuan pertama setelah selama lima tahun tak jumpa, pertemuan yang masih  dikelilingi oleh rasa rindu.
Hasratku untuk menceritakan pengalamanku selama di negeri orang sudah tak terbendung lagi. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, ku ceritakan semua yang kualami, ku ceritakan semua pengalaman pahit dan manis selama aku tinggal disana.

* * *

Hari ketigaku tiba di Indonesia, aku sempatkan diri untuk berkeliling Jakarta. Ternyata Jakarta tidak banyak berubah, masih seperti lima tahun yang lalu. Disatu sisi gedung – gedung semakin menjulang tinggi dan disisi  lain gubuk – gubuk tua berbaris tak beraturan.
Sungai – sungai juga semakin dipenuhi oleh sampah – sampah, semakin tidak indah dipandang, semakin banyaknya penyakit – penyakit yang timbul karenanya.
Aku ingin negeriku ini bisa berubah, aku ingin negeriku ini bersih dari sampah – sampah, aku ingin menolong mereka yang membutuhkan bantuanku.
Ku ingat kembali saat aku tinggal di negeri sana, rumah – rumah berjajar rapi dengan jalanan yang bersih dan dipagari oleh pepohonan yang rindang. Hijaunya dedaunan baru serta bunga – bunga yang bermekaran menambah keindahan musim semi.
Matahari bersinar begitu terang, saat terbaik untuk sekedar berjemur di pantai atau sekedar menghabiskan liburan bersama keluarga dan kerabat dekat bila musim panas tiba.
Indahnya menyaksikan daun – daun berguguran, menyaksikan turunnya butiran – butiran putih yang tak pernah kulihat di negeriku. Kilauan cahaya dari hamparan salju yang tersinari matahari menambah keindahan musim salju.

* * * 

Pertemuan..

  “Ibu, Ayah, Agam harus pergi sekarang, Agam harus segera mengamalkan ilmu yang sudah Agam peroleh.”
“Ayah dan Ibu harap kau bias mempraktikkannya dengan ikhlas dan sabar, nak. Do’a kami selalu menyertaimu.”
“Terima kasih Ibu, Ayah atas do’a dan ridhomu. Insyaallah Agam akan sering – sering berkunjung. Assalamu’alaikum..”
“Waalaikumsalam.. Hati – hati di jalanya Gam.” Ucap Ibuku sebelum aku meninggalkan mereka untuk kedua kalinya.
Mobil yang ku kemudikan mulai meninggalkan kota Jakarta, tempat Ayah dan Ibuku tinggal. Perjalananku kali ini adalah perjalanan pertamaku menuju kampong halamanku, Kota Kembang, Bandung. Tempat dimana aku dilahirkan, tempat dimana aku dibesarkan bersama teman – temanku, tempat yang penuh kenangan.
Masih ku ingat jelas saat – saat kami tumbuh bersama di panti, dengan Bunda yang selalu menyayangi kami meski seringkali kami membuatnya kesal.
Halaman panti selalu menjadi tempat favorit kami untuk bermain, pohon – pohon besar yang kokoh selalu menjadi tempat kami saling bertukar mimpi dan cita – cita.
Dalam hati ku selalu bertanya – tanya : “Bagaimana kabar Bunda dan anak – anak panti ? Bagaimana keadaan mereka ? Seperti apakah panti sekarang ? Pasti sudah banyak berubah. Dan bagaimana dengan Icha, seperti apakah ia sekarang ?”
Tak sabar rasanya, aku ingin segera mengunjungi panti, aku sudah rindu dengan semua orang dipanti. Tapi aku harus bersabar hingga tugasku ini selesai.
Ku lihat sebuah gapura besar bertuliskan “Selamat Datang di Kota Bandung”. Alhamdulillah, akhirnya tiba di kota kelahiranku ini. Namun ada yang berbeda, Bandung kini tak seindah dulu, Bandung kini tak sesejuk dulu.
Bandung kini telah banyak berubah, gedung – gedung kian menjulang tinggi, persawahan yang dulu terbentang kini berubah menjadi kompleks – kompleks perumahan, air sungai pun sudah tak sejernih dulu, bunga – bunga yang dulu berbaris menghiasi pinggiran kota kini sudah sedikit, juga udara yang menjadi panas dan kemacetan di pusat kota, hampir menyerupai kota Jakarta.
Kemanakah Bandung Kota Kembang seperti dahulu ?
Kemanakah Bandung Paris Van Java seperti dahulu ?
Kemanakah gunung – gunung yang berbaris indah ?
Kemanakah sawah – sawah yang membentang luas ?
Kemanakah kota Bandung yang dahulu ?

* * *

Panti kini banyak berubah, rumah sudah direnovasi, halaman yang dulu sepetak kini hamper seluas lapangan volly, dulu halaman dipenuhi rumput – rumput liar kini dipenuhi tanaman – tanaman obat.
Hanya satu yang membuatku sedih, bagian terpenting dalam panti sudah tiada, dialah saksi bisu yang merekam masa kecilku, pohon besar yang kokoh itu kini sudah ditebang.
Ku hampir rumah, namun ada yang aneh. Sepi, seperti tak ada kehidupan disini, kemanakah orang – orang ?
“Assalamu’alaikum..”
Assalamu’alaikum..” Kuucapkan salam berkali – kali.
“Waalaikumsalam..” Akhirnya ada yang menjawab salamku. Seorang gadis kecil keluar dari rumah. Ia mengenakan pakaian muslim berwarna biru muda, selaras dengan parasnya yang manis.
 “Apakah Bunda ada di rumah ?” Tanyaku padanya.
“Maaf kakak siapa ya ?” Tanyanya padaku.
“Saya Agam dari Jakarta. Bolehkah saya bertemu dengan Bunda ?”
“Oh maaf, Bundanya lagi di Rumah Sakit.” Jawabnya dengan raut wajah yang seketika berubah.
“Siapa yang sakit dik ? Bundakah ?” Tanyaku khawatir.
The Icha, kak.”
“Icha, Alysha ? Kenapa dengannya ? Sakit apa dik ?”
“Iya, kakak temannya teh Icha ? Kemarin teh Icha kecelakaan kak.”
“Astaghfirullah.. Bagaimana bisa ? Sekarang keadaannya bagaimana ?
“Kiki juga kurang tahu kak, dari kemarin Bunda belum pulang.”Jawabnya dengan suara yang bergetar.
“Di Rumah Sakit mana dik ?”
“Kata Bunda di RS. Al Masoem kak.Tapi Bunda tidak bilang di ruangan mananya.”
“Terima Kasih, dik. Kakak akan kesana sekarang.”
“Boleh Kiki ikut ?” Pintanya sedikit  memelas.
“Lebih baik adik di rumah saja, berdo’a semoga the Icha baik – baik saja, ya.. ”
“Hm, baiklah.Terima kasih kakak, hati – hati di jalannya.”
“Iya. Assalamu’alaikum..”Ucapku, segera menuju Rumah Sakit.
“Waalaikumsalam..”
Langsung aku menuju Rumah Sakit dimana Icha dirawat.Dengan beribu pertanyaan memenuhi pikiranku ini.

* * *

# Setibanya di Rumah Sakit #
“Maaf  Bu,  pasien yang bernama Alysha Hanifah dirawat di ruangan mana ya ?” Tanyaku ketika aku tiba di lobi Rumah Sakit.
“Tunggu sebentar..” Dengan cekatan ia telusuri data – data kamar pasien.
“Nn. Alysha Hanifah dirawat di ruang Anggrek nomor 117.” Jawabnya beberapa saat kemudian.
“Terima kasih.”
Segera ku berlari mencari ruangan itu, ku lihat setiap nomor yang tertera di pintu ruangan. Anggrek 100.. Anggrek 102.. Anggrek 103.. Dan akhirnya ku temukan ruangan yang ku cari Anggrek 117.
Ku buka daun pintu yang sedikit terbuka,ku lihat di dalam sana terbaring seorang gadis, disampingnya seorang wanita tua duduk dengan penuh kecemasan.
“Assalamu’alaikum..” Sapaku dengan nada pelan.
Ia terkejut, namun begitu sadar ia segera menjawab salamku. “Waalaikumsalam..”
Terlihat jelas ia masih terkejut atas kedatanganku yang tiba – tiba ini. Beberapa saat raut wajahnya berubah, keheranan. Mungkin ia tak mengenaliku.
“Bunda ini Agam, Agam Ginanjar..”Tuturku memecah keheningan dan mencoba menjawab pertanyaan – pertanyaan dalam benaknya.
“Oh Agam. Bagaimana bisa Agam tahu ?” Tanyanya masih sedikit kebingungan.
“Ceritanya panjang Bun, nanti Agam ceritakan. Tapi sebelumnya mengapa Icha bisa sampai begini Bun ?”
“Mobil bus yang dinaiki Icha kecelakaan.”
“Bagaimana keadaannya sekarang Bun ?”
“Alhamdulillah sudah lebih baik. Hanya saja kedua matanya sudah tidak berfungsi lagi, kata dokter ia mengalami kebutaan.“Jawab Bunda hampir menangis, memandangi Icha yang sedang tertidur disana.
“Astaghfirullah.. Lalu bagaimana bisa ia mengalami kebutaan ?”
“Pecahan – pecahan kaca akibat kecelakaan itu masuk ke kedua matanya, dan matanya terpaksa dioperasi.” Jawabnya kini sudah menitikan air mata.
Sakit hatiku mengetahuinya, rasanya bagaikan tersayat – sayat pisau yang tajam. Dan aku ? Apa yang bisa aku lakukan untuknya saat ini ?Aku hanya berdiri dalam diam, aku hanya bisa melihatnya dalam diam.
Sungguh aku tak menyangka orang yang ku sayangi mengalami hal seperti ini.Aku hanya bisa menatapnya terbaring dengan penuh ketidakpercayaan. Aku hanya bisa menatapnya dengan penuh harap bahwa dia yang terbaring disana bukanlah kau, Icha.
Oh sahabatku, aku datang untuk menunjukkan padamu hasil dari usahaku selama ini. Aku datang untuk memperlihatkan kemampuanku ini. Aku datang  untuk melihatmu melihat perubahanku ini.
Oh sahabatku, ku harap bukan engkau yang mengalami semua ini. Ku harap engkau masih bisa melihat seperti saat terakhir kita bertemu, dengan mata yang indah penuh dengan keceriaan. Ku harap bukan engkau yang kini terbaring disana, dengan mata terbungkus perban.
“Agam, bagaimana kabarmu nak ? Kau sudah tumbuh besar, Agam kecil Bunda sekarang sudah dewasa.” Tutur Bunda kini membubarkan lamunanku tentangnya, membawaku kembali pada kenyataan.
“Alhamdulillah Bunda, bagaimana kabar Bunda dan kabar anak – anak yang lain di panti ?” Jawabku beberapa saat kemudian.
“Alhamdulillah baik. Apa kegiatanmu sekarang ? Bunda kira Agam sudah lupa dengan panti.” Kini ia sambil tertawa kecil, mencoba menghangatkan suasana.
“Agam baru saja dapat izin praktek Bun, Alhamdulillah Agam berhasil menjadi seorang dokter.Tentunya tidak Bun, Agam sangat merindukan suasana di panti, Agam rindu Bunda.”
“Bunda pun begitu, Gam.”Jawabnya lalu memandangi Icha lagi.

* * *

Alysha Hanifah..


Hm, ku rasa aku sudah tidur terlalu lama. Tapi, mengapa semuanya begitugelap ? Mengapa tidak ada setitik cahaya pun disini ? Apakah aku ini sedang bermimpi ?
Kucubit lenganku, ternyata sakit. Aku tidak sedang bermimpi, ini kenyataan, tapi mengapa aku tak bisa melihat apa – apa ? Gelap sekali disini, aku mulai merasa semakin takut.
“Bunda..!!” Teriakku spontan karena lampunya tak kunjung menyala.
“Bunda..!!” Kemanakah Bunda ?Aku semakin takut berada dalam kegelapan ini.
“Iya tunggu sebentar.” Jawabnya sambil berlari menghampiri Icha.
“Bunda, Bunda dimana ? Bisakah Bunda menyalakan lampunya untukku ?”Pintaku namun sudah merasa tenang karena ada Bunda disini.
“Kenapasayang ?” Jawabnya lembut.
“Kenapa disini gelap sekali ? Icha tak bisa melihat apa – apa, termasuk Bunda.”
“Tenang sayang, Bunda ada disini, disampingmu.” Ia memelukku, memelukku dengan erat, tak seperti biasanya.
“Ada apa ini Bunda ? Sebenarnya kita ini dimana ? Mengapa disini gelap sekali Bunda ?” Tanyaku semakin cemas.
“Icha, Icha tenang dulu.” Ucap seorang laki – laki.
“Bunda, siapakah seseorang disana ?”
“Ini aku Agam, Cha.” Jawabnya melembut.
“Agam ? Kaukah Agam Ginanjar ?”
“Iya Cha, Agam kembali untukmu.”
“Ada apa sebenarnya ini ? Aku tak mengerti, mengapa kalian bersikap aneh padaku ? Dan mengapa aku tak bisa melihat apa – apa ?” Tanyaku semakin takut.
Ada apa ini ? Mengapa tiba – tiba ada Agam disini ? Mengapa tiba – tiba sikap Bunda berubah ? Mengapa jawaban mereka tidak sesuai dengan pertanyaan – pertanyaanku ? Ya Allah, ada apa ini sebenarnya ?
Aku bisa mendengar mereka, namun aku tak bisa melihat mereka. Disini gelap sekali, tak ada setitik cahaya pun. Mungkinkah.. Mungkinkah aku ini buta ? Apa itu benar ya Allah ? Apa aku ini buta ?
“Apakah Icha ini buta ?” Tanyaku setelah lama hening.
Masih hening, tak ada seorang pun yang menjawab pertanyaanku. Ya Allah, mungkinkah itu benar ? Mungkinkah aku ini benar – benar buta ? Ya Allah aku ingin mengetahui kebenarannya, aku tak ingin diam dalam ketidaktahuan ini.
“Bunda.. Agam.. Apa Icha benar – benar buta ?” Tanyaku pelan, rasanya lidah ini begitu sulit untuk menanyakannya.
Tetap hening, mengapa mereka tetap diam ? Mengapa mereka tak menjawab pertanyaanku ini ?
“Icha, tapi Icha harus tetap tanang.Icha harus kuat dan sabar ya.” Bunda akhirnya membuka mulut.
Ya Allah, benarkah ini ?
“Icha, akibat kecelakaan kemarin mata Icha harus dioperasi, Bunda tidak punya pilihan lain. Maafkan Bunda, Cha.” Jawab Bunda, dari suaranya ia menangis.
Ya Allah, tidakkah aku sedang bermimpi ? Bangunkan aku dari mimpi ini ya Allah. Aku masih ingin melihat ciptaan – ciptaan-Mu, aku masih ingin menikmati keindahan ciptan – ciptaan-Mu, dan aku masih ingin melihat.Ya Allah, ku harap ini bukanlah kenyataan.
Aku hanya bisa terdiam mendengar jawaban itu, meski aku sudah mengira namun mendengar pernyataan itu membuatku membeku dan tak dapat berkata apa – apa lagi. Sungguh aku terkejut.
Hanya isak tangis Bunda yang terdengar, rasanya baru kali ini Bunda menangis seperti itu.Sakit sekali hatiku mendengar isak tangisnya, menyayat – nyayat hati yang sedang terluka.
Kini ia melepaskan pelukannya, ia berlalu meninggalkan aku, tanpa  mengucapkan sepatah kata pun, ia meninggalkanku     dalam bisu.
Rasanya dada ini sangat sesak, semakin sesak hingga sulit bagiku untuk bernafas.Hal yang tak pernah terbayangkan olehku, ternyata kini aku alami. Inikah ujian dari-Mu ya Allah ? Inikah cobaan yang Kau berikan padaku ? Tapi mengapa harus aku ?
“Icha..” Ucap Agam memecah keheningan.
Tangannya kini menepuk – nepuk  bahuku, mencoba menenangkan hatiku yang sedang kacau. Aku tak bisa berkata apa– apa, masih begitu sulit.
“Icha, janganlah kau takut, ada Agam disini. Agam akan selalu ada untukmu. Cha, ingat ini ujian untukmu, ini ujian khusus dari Allah untukmu. Icha harus sabar, tetaplah menjadi Icha yang Agam kenal.” Kata – katanya kini seakan menegurku.
Kata – katamu benar Gam, tapi aku belum siap menerima semua ini, aku tak sekuat yang kau tahu. Butuh waktu bagiku untuk menerima kenyataan ini, semua ini terlalu cepat bagiku, Gam.

* * *

Sudah satu minggu aku diam dalam kebisuan, aku masih belum bisa menerima kenyatan ini. Segala hal berkecamuk dalam pikiranku, kurasakan perang batin yang tak kunjung berakhir. Ya Allah apayang harus aku lakukan ?
“Assalamu’alaikum..”
Ucapan salam itu membawaku kembali ke alam sadar.
“Waalaikumsalam.. Siapa disana ?”
“Ini aku, Agam.”
“Oh Agam, ada apa ?”
“Aku ingin mengajakmu keluar, ayo ikut.”
“Kemana ?”
“Ke tempat yang kau kenal, ayo..” Ia menepuk pundakku, berusaha meyakinkanku.
Ia menggenggam tanganku dan ia menuntun langkahku, pelan dan penuh kehati – hatian. Aku bias merasakannya karena genggaman tangannya yang erat.
Tanganku yang lain tak henti mengayun di udara, meraba – raba apapun yang ada disekitarku, mencoba mengenali jalan yang kulewati ini. Sangat sulit untuk berjalan dalam kegelapan seperti ini, dan jujur sebenarnya aku takut.
“Jangan takut, aku disini bersamamu.” Ucapnya tiba – tiba.
Kata – katanya membuatku merasa tenang. Ia seperti tahu apa yang ada dalam pikiranku.
“Terima kasih.” Jawabku terbata – bata.
Kini ia menghentikan langkahnya, “Kita sudah sampai, ayo duduk.” Ia membantuku untuk duduk, duduk di sebuah kursi yang terbuat dari kayu.
Bau bunga mawar yang sedang mekar, bau dedaunan hijau yang segar, bau air kolam ikan, bau ini tidak asing bagiku. Dimanakah aku ? Mungkinkah ini di halaman belakang panti ?
“Kita di halaman belakang ?” Tanyaku untuk memastikan.
“Iya, kau benar Cha. Kita di halaman belakang.” Jawabnya puas.
“Mengapa kita kesini, Gam ?”
“Ingatkah kau saat kita masih kecil dulu ?” Ia tak menjawab pertanyaanku.
“Dulu kau yang menuntunku, menunjukkan jalan pulang padaku, karena seringkali aku lupa jalan pulang jika bermain.” Lanjutnya beberapa saat kemudian.
“Tentu, aku ingat itu. Dulu juga kita sering bertengkar memperbutkan makanan. Kau masih ingat ?”
“Tentu saja, aku ingat saat – saat kita bertengkar, bermain, bersama – sama.”
Bersamanya aku kembali ke masa lalu, mengingat kembali cerita dan kenangan yang dulu pernah terukir.
“Hm, dulu kau sering memboncengku naik sepeda ke sekolah. Aku rindu saat itu, bagaimana denganmu ?” Tanyaku sambil membayangkan saat – saat itu.
“Tentu saja. Oh ya, di panti ada sepeda ?”
“Ada, di halaman depan. Untuk apa sepeda ?”
“Ayo kita bersepeda.” Ajaknya penuh semangat.
“Bagaimana bisa Gam ? Aku buta.”
“Lalu ? Buta tidak berarti tidak bisa melakukan apa – apa.” Ia menggenggam tangantu lagi dan menarik tanganku.
“Ayo !” Lanjutnya, kini ia menuntunku ke halaman depan.
Suaranya yang lembut namun tegas, menampar dengan halus ucapanku tadi, membuatku sadar akan satu hal, aku masih mempunyai empat indera yang lain dan aku harus bersyukur karenanya. Aku tak boleh menyia – nyiakan hidupku dalam keputusasaan.
“Siap Cha ? Pegang erat – erat ya.”
Kata – katanya sama persis seperti saat itu.
“Iya, tapi pelan – pelan ya Gam.”
“Ok. Siap boss !” Jawabnya dengan tawa kecil.
Angin berhembus lembut menyapaku, nyanyian burung – burung kecil mengiringi perjalanan kecilku, harumnya bunga – bunga yang sedang bermekaran menyertaiku.
Aku bisa merasaannya, aku bisa merasakan hangatnya sinar sang mentari, aku bisa merasakan sebuah kebahagiaan, bersamanya, bersama sahabatku.
Sepanjang perjalanan singkat ini ia tak henti membuatku tertawa, ia benar – benar membuatku terhibur, membuatku lupa akan sedihku, membuatku kembali bersemangat.

* * *          


Untuk kelanjutan ceritanya di Cahaya Dalam Gelap Part II yaa.. (*^_^*)/

No comments:

Post a Comment

 

Blogger news

Blogroll

About